Jumat, 28 Juni 2013

MALAIKAT TAK BERSAYAP ITU BAPAKKU (XII) epsd. terakhir.


28 Juni 2013
malaikat tak bersayap itu bapakku (xii)
Bapak.....
 Peganglah tanganku
Bimbinglah dan tuntunlah aku
Jangan biarkan aku seorang diri
Menapaki kehidupan ini
Dalam mencari jati diri

            “Bapak, Faiz pengin shaleh seperti bapak !, gimana caranya ?”, Faiz mengemukakan keinginannya, suatu malam.
“Alhamdulillah, nak !. Itulah doa bapak siang malam, mimpi bapak di kala tidur maupun terjaga, harapan dalam setiap detak jantung dan tarikan nafas hidup bapak, ikhtiar setiap langkah bapak, banyak  jalan menuju kesana ! yang terpenting niat yang mantap dulu !”, Bapaknya Faiz terharu. Faiz pu tersentuh dengan kata-kata bapaknya yang tepat mengena di relung hatinya. Faiz memeluk bapaknya , sang malaikat dalam kehidupannya.
            “Bapak baca apa?”, tanya Faiz. Kebiasaan membaca buku adalah kegiatan bapaknya dalam mengisi waktu luang baik di rumah maupun di toko.
“Ini, coba kamu liat atau setidaknya baca ihktisar yang ada di belakangnya !”, diulungkannya buku itu kepada Faiz. Di bacalah judul buku itu, “ Tangga Menuju Surga”. Kemudian Faiz membuka-buka dan membacanya. Bapaknya tersenyum.
            “Pak, sebelum kita pergi ke toko tolong antar aku ke rumah mas Andi, ya ! aku mau minta maaf !. Aku sangat bersalah kepadanya. Aku telah menfitnahnya ketika dulu uang bapak hilang !”, Faiz mengajukan permintaan kepada bapaknya.
“Ga usah ke rumahnya ! lha.... mas Andi sudah kembali kerja sama kita lagi, kok !”, jawab bapaknya.
“Yang bener, pak ?”, tanya Faiz butuh kepastian ulang. Bapaknya mengangguk pasti.
            Sesampainya di toko, Faiz menyalami kedua karyawan bapaknya. Ia senang melihat mas Andi telah kembali bekerja.
“Mas Andi, saya minta maaf, atas kejadian itu....janji, deh ! saya tidak akan mengulanginya lagi !”, kata Faiz dengan sungguh-sungguh.
“Sama-sama, gimana kabarnya ? katanya baru jalan-jalan ke luar pulau ?”, tanya Andi kemudian.
“Aaaahhh....ngeledek, nih !”, Faiz menepuk punggung mas Andi. Gelak tawa pun pecah seketika.
“Tolong beliin gado-gado lagi, dong ! dekat perempatan sana....untuk kita berempat !”, Faiz pun kambuh kebiasaannya yang suka menyuruh-nyuruh.
“Tapi tidak ada modus tersembunyi, kan ? Jangan-jangan nanti saya tinggal beli gado-gado, meubel-meubel disini pada raib pindah ke kantong kamu !”, mas Andi pun ngeledek Faiz.
“Apaan, sih....kantongku sebesar apa, hayoww....!”, lagi-lagi Faiz menepuk punggung mas Andi.
            Sore itu Faiz pergi ke masjid. Inilah hari pertama ia mau menapakkan kaki di masjid yang tidak jauh dari rumahnya.
“Assalamu `alaikum Faiz !”, sapa pak Lutfi ketika melihat Faiz yang hendak sholat maghrib berjamaah.
“Wa` alaikum salam...!”, Faiz pun menjawab agak canggung. Hal ramah tamah yang tidak disenangi Faiz sebelumnya. Faiz berusaha untuk mengalahkan egonya.
“Eeee....Faiz, sudah mau ke masjid rupanya !”, kata pak Han.
“Iya, pak !”, Faiz pun agak merah mukanya.
“Ini menyapa atau ngledekin saya !’, pikir Faiz.
‘Iya, pak !. Alhamdulillah !”, suara bapaknya muncul di belakangnya Faiz.
“Alhamdulillah ya, pak !”, jawab pak Hans. Faiz mengangguk hormat dan bergegas masuk ke masjid.
“Saya harus siap mendengar orang –orang pada ngomongin aku. Aaahhh...lama-lama terbiasa juga tidak aneh melihatku berubah !”, kata Faiz dalam hati.
Ada yang beda dalam diri Faiz. Perubahan yang ada, perlahan-lahan namun pasti. Sosok Faiz yang sekarang mulai mau ruku` dan sujud kepada Penciptanya. Sebuah kesombongan yang telah patah. Ada senyum harapan mewarnai hari-hari bapaknya Faiz. Tidak sia-sia kalau Faiz punya bapak yang shaleh dan rumahnya deket masjid. Suatu icon yang kuat yang mengalirkan daya positif dalam hidup seseorang, begitu juga dengan hidup Faiz.


@#@#@  END  @#@#@

                 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar