23 Juni 2013
malaikat tak bersayap itu bapakku (vii)
Silau
dengan gemerlap dunia
Membuat
jiwa rapuh terlena
Dalam
canda tawa
Tersenyum
dalam sanjungan
Terbang
dalam pujian
“Hallo,
bro ! “, sapa Karim.
“Hallo,
juga !”, senyum Faiz merekah. Mereka pun pesan makanan dan minuman.
“Happy
birthday, Faiz !”, Ellena menghampiri meja Faiz. Di tangannya ada kue tart.
Riuh suara canda tawa mereka. Faiz pun tenggelam dalam suasana suka cita sampai
lupa mengabari tentang keberadaannya kepada bapaknya.
Acara ulang tahun Faiz di lanjutkan
karaoke, satu tempat dengan cafe tapi beda ruang.
Faiz
pun semakin terbang diantara tawa, pujian dan sanjungan teman-temannya.
“Ayo,
boss bro ! Nyanyi lagi, biar tangannya lekas sembuh...hhaa...hhaa...!”, Bian
menarik Faiz maju ke depan. Tepuk tangan pun riuh menyemangati Faiz.
Tanpa terasa malampun semakin larut.
Faiz pun mendatangi kasir. Ia mengeluarkan uang sebesar satu juta untuk mbayar
pestanya di cafe tersebut. Dika mengantar Faiz pulang.
Faiz
mengendap-endap masuk rumah.
“Untung
ada kunci duplikat di dompetku !”, pikirnya. Ia langsung masuk ke kamar. Jam
menunjukkan angka tiga, dini hari. Ia baringkan tubuhnya di tempat tidur. Faiz
susah memejamkan kedua matanya. Ada bayang-bayang pesta, teman-temannya, musik
dan canda tawa berputar-putar di pikirannya. Faiz pun senyum-senyum sendiri.
Faiz terbangun mendengar bapaknya
ngobrol lewat handphone. Serius sekali kedengarannya.
“Ah...kepalaku
pusing !”, Faiz pun melanjutkan tidurnya, padahal sudah jam sepuluh pagi.
“Faiz,
bangun ! sudah sore !”, suara bapak Faiz membangunkan anaknya tersebut. Faiz
tergagap dan terbangun.
“Sudah
sore !”, pikirnya bingung. Di lihatnya bapaknya ngobrol lewat selluler, serius.
“Ah..seperti
mimpi, perasaan tadi pagi...enngg...bapak juga sedang menerima telepon !”, Faiz
bingung sendiri.
“Faiz, kamu duduk sini !”, Faiz di
panggil bapaknya. Ia duduk berhadapan dengan orang yang sudah beruban tersebut.
Faiz,
jujur....kamu yang ambil uang toko, kan ?”, bapak Faiz mengintrogasi anaknya.
“Maksud
bapak apa ?”, Faiz mencoba pura-pura tak tahu apa-apa.
“Jujur
saja, tak usah banyak alasan !”, intonasi sang bapak pun dingin dan datar.
Faiz
menunduk, diam.
“Jawab
Faiz...!!!! kamu kan yang ambil uang itu dan kamu hambur-hamburkan semalam kan ?...jawwaaaabbb...!”, bapak Faiz terlihat
marah.
“Bukan
besarnya uang yang kamu ambil, tapi besarnya kejujuran dan tanggungjawab kamu
yang bapak persoalkan !”, intonasi bapaknya Faiz pun mulai menurun.
Dipandanginya Faiz yang hanya menunduk. Dalam hatinya terasa teriris-iris
menghadapi kelakuan putra satu-satunya tersebut. Air ludahnya terasa menyangkut
di kerongkongan. Ia merasa sudah berusaha mendidik Faiz dengan baik sejak kecil.
@#@#@
Bersambung @#@#@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar