26 Juni 2013
malaikat tak bersayap itu bapakku (x)
Aku
kalah dalam emosi
Aku kalap tak terkendali
Tak
berdaya oleh keadaan
Ego
pun tak mau menyerah
Panas
oleh sebuah tantangan
Maaf,
aku khilaf
Selesai makan siang, Faiz masuk ke
kamar. Betapa terkejutnya ia ketika melihat Andra menbuka-buka tas kopernya.
“Apa-apaan
ini “, tanya Faiz yang mengejutkan Andra.
“Apa
?”, Andra balik bertanya sambil bersungut dan pergi keluar kamar. Faiz segera
menghampiri tas kopernya. Ia langsung melihat dompet yang di taruh di tumpukan
baju paling bawah.
“Ga
ada !”, dikeluarkan bajunya satu persatu.
“Ini
dia dompetnya !”, Faiz membuka dompet dan matanya terbelalak.

Faiz melihat Andra bersama kakaknya.
Faiz ragu untuk mendekat.
“Ndra....kemari
sebentar, aku mau ngomong !”, Faiz memanggil Andra dari kejauhan.
“Mau
ngomong...ngomong aja...ribet amat !”, Andra tak bergeming dari tempat
duduknya.
Faiz
pun berjalan mendekat.
“Kamu
ngambil uang di koperku, kan ?”, tanya Faiz, tak peduli dengan keberadaan
Rizal.
“Kamu
menuduh adikku maling ! kamu sendiri yang maling uang bapakmu, kan ?”, Rizal
berbicara dengan emosi. Byyyuuurrr.....! Faiz merasakan air kotor bekas pel
mengguyur di seluruh tubuhnya. Lalu ia menengok ke belakang pengin tahu siapa
yang mengguyurkan air bah dari ember ke tubuhnya tersebut. Ternyata bapak
tirinya.
Faiz merasa di dholimi. Ia berkemas,
semua bajunya ia masukkan di kamar. Hatinya panas. Ibunya duduk dihadapan Faiz.
Matanya berlinang airmata. Faiz tak terpengaruh dan tetap mengacuhkan
keberadaan ibunya.
“Ibu
tidak bisa berbuat apa-apa, maafkan ibu, Faiz !”, ibunya Faiz berkata sambil terus
menangis. Faiz hanya terdiam. Ia ingat barusan ketika bapak tirinya memaki-maki
dan mengusirnya, sosok ibunya tak berusaha membelanya sedikitpun. Setidaknya
memberi pengertian ke suaminya.
“Saya
di sini hanyalah sebagai orang lain, bu !. Aku pamit....kita punya kebahagiaan
sendiri-sendiri !”, Faiz melangkah sambil menyeret tas dan kopernya
meninggalkan ibunya. Di ruang tamu, bapak dan saudara tirinya sedang ngumpul di
ruang tamu.
“Terima
kasih atas tumpangan menginap selama saya di sini !”, Faiz pamitan kepada
mereka dan berjalan meninggalkan mereka dan rumah itu.
Dengan uang yang hanya puluhan ribu
rupiah, sampailah Faiz di Bandara. Ia bingung, karena uangnya jelas tidak cukup
untuk naik pesawat. Faiz duduk di sebuah warung makan. Ia pesan makanan
favoritnya, gado-gado. Faiz makan dengan lahapnya. Ia mencoba menetralisir
keadaan hati dan pikirannya agar mendapatkan cara bagaimana ia harus bisa
pulang berkumpul dengan bapaknya. Sosok yang sangat dekat di hati dan pelupuk
matanya saat ini. Mata Faiz berkaca-kaca. Ia tak sanggup meneruskan makan.
@#@#@
Bersambung @#@#@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar