24 Juni 2013
malaikat tak bersayap itu bapakku (viii)
Aku
tertegun dalam bimbang
Hadapi
sebuah pilihan
Yang
memiliki konsekuensi
Hal
yang harus aku jalani
Tak
semudah membalik telapak tangan
Faiz merasa tidak nyaman bila
bertatap mata dengan bapaknya. Apalagi melihat wajah bapaknya yang kelihatan
murung. Ada rasa bersalah yang mendalam. Efek yang paling besar adalah mas Andi
karyawan bapak, mengundurkan diri. Dia merasa gak enak dan mungkin sudah merasa
tidak nyaman lagi kerja dengan bapak.
“Itu
semua salahku !”, Faiz menyesal.

Faiz berjalan mondar mandir di dalam
kamarnya. Sesekali ia tepuk keningnya, berharap ada solusi muncul dari dalam
pikirannya.
“Kenapa
aku kemaren begitu mudahnya menjalani semua itu ya...mencuri uang
bapak....hura-hura....dan akibatnya...aaauuuggghhh.....! mas Andi yang harus
menanggung resiko dari perbuatanku itu !”, Faiz bergulat antara pikiran dan
hati nurani.
“Sebaiknya
aku harus berterus terang dengan perbuatanku kemaren. Kasihan mas Andi, semoga
ia mau balik kerja di tempat bapak !”, akhirnya Faiz memutuskan sesuai dengan
kata hati nuraninya.
“Bapak, sebelumnya aku minta maaf,
aku salah dan khilaf. Aku yang mengambil uang itu, pak !. Aku siap menanggung
konsekuensinya, apa pun itu “, Faiz mengakui kesalahannya. Wajahnya menunduk,
tak berani melihat muka bapaknya. Bapak Faiz menarik nafas panjang beberapa
kali.
“Saya
dah tau kalau kamu yang mengambil uang itu ! seorang yang gentle harus berani
mempertanggungjawabkan perbuatannya !”.
.
Apa benar kamu mau menerima hukumannya ?”, tanya bapak Faiz. Ia melihat anaknya
yang duduk menunduk di depannya.
“Ya,
pak ! saya sanggup, apapun itu “, Faiz menjawab dengan suara bergetar. Ia
menduga-duga hukuman apa yang akan diterimanya.
“Mungkin
dikurangi uang saku-ku, atau aku disuruh kerja di toko...atau...apa ya ?”, Faiz
menebak-nebak dalam hati.
“Kamu harus hidup bersama ibumu.
Minggu depan kamu sudah bisa pindah. Bapak yang akan mengurus administrasi
pindah sekolah”, kata bapaknya.
“Maksud
bapak, aku harus pindah ke rumah ibu ?”,tanya Faiz tak percaya.
“Ya,
karena bapak sepertinya gagal dalam mendidikmu. Bapak sampai bingung harus
bagaimana cara untuk merubah watak dan tabiatmu yang tidak terkendali !.
Mungkin dengan ibumu, kamu bisa berubah menjadi lebih baik dari sekarang”,
jelas bapaknya yang kemudian meninggalkan Faiz yang lagi shock seorang diri.
Faiz masih terdiam. Pikirannya berputar-putar tidak jelas. Ia sangat ragu untuk
bisa hidup dengan ibunya. Sosok wanita yang idealistis, keras, dan disiplin.
Masih ingat suasana rumah tujuh tahun yang lalu, sebelum bapak dan ibunya
bercerai. Sejak saat itu hanya dua kali Faiz bertemu dengan ibunya, itupun
hanya dalam hitungan jam. Ibunya menikah lagi dan berdomisili di luar pulau.
Komunikasi pun tidak terlalu lancar. Faiz ragu, sanggupkah ia hidup dengan
orang-orang yang asing baginya.
@#@#@
Bersambung @#@#@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar